BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Trematoda atau cacing daun termasuk
dalam filum Platyhelminthes dan hidup
sebagai parasit. Banyak sekali macam hewan yang dapat berperan sebagai
hospes definitif bagi cacing trematoda ,sebut saja kucing,anjing, sapi ,babi,
tikus, burung, dan harimau. Tidak ketinggalan manusiapun merupakan hospes utama
bagi cacing trematoda. Trematoda menuruttempat hidupnya dibagi menjadi empat
yaitu trematoda hati, trematodaparu, trematoda usus, dan trematoda darah.
(FKUI, 1998).
Makalah ini akan membahas tentang
Trematoda darah dan jaringan (Trematoda paru dan trematoda hati). Pada
trematoda darah akan membahas tiga spesies pentingnya yaitu Schistosoma mansoni, Schistosoma japonicum dan Schistosoma haematobium. Paragonimuswestermani pada trematoda paru dan pada
trematoda hati akan membahas Clonorchis
sinensis, Opistorchis felineus, dan
Fasciola hepatica.(Onggowaluyo,
2001).
Secara umum cacing– cacing ini
mempunyai hospes definitif manusia. Cacing tersebut sebagian juga dapat
kita temukan di Indonesia seperti Schistosoma
japonicum, Paragonimus westermani dan Clonorchissinensis
(Onggowaluyo,2001). Oleh sebab itu diperlukan informasi yang jelas dan
tepat mengenai spesies dari cacing tersebut, habitatnya, gejalapenyakit,
pengobatan, pencegahan dan juga pengandaliannya, untuk mencegah meluasnya penyebaran penyakit yang dapat
timbul akibatcacing trematoda B.
2.
Tujuan
Tujuan penyusunan makalah berjudul “
Trematoda Parasit Darah dan Jaringan ” ini adalah :
1.
Untuk mengetahui klasifikasi
Trematoda Darah dan Jaringan
2.
Untuk mengetahui hospes dan nama
penyakit yang ditimbulkan oleh Trematoda Darah dan Jaringan
3.
Untuk mengetahui morfologi Trematoda
Darah dan Jaringan
4.
Untuk mengetahui distribusi
geografik Trematoda Darah dan Jaringan
5.
Untuk mengetahui siklus hidup
Trematoda Darah dan Jaringan
6.
Untuk mengetahui epidemiologi
Trematoda Darah dan Jaringan
7.
Untuk mengetahui patologi dan gejala
klinis yang ditimbulkan oleh Trematoda Darah dan Jaringan
8.
Untuk mengetahui diagnosis yang
harus dilakukan dalam penanganan Trematoda Darah dan Jaringan
9.
Untuk mengetahui cara pengobatan
penyakit akibat Trematoda Darah dan Jaringan
10.
Untuk mengetahui pencegahan yang
harus dilakukan agar tidak terjangkit penyakit yang disebabakan oleh
Trematoda Darah dan Jaringan
BAB II
PEMBAHASAN
Trematoda darah
Trematoda darah memiliki perbedaan
dengan trematoda lainnya, diantaranya cacing dewasa tidak memiliki otot faring
serta memiliki kelamin terpisah (ada cacing jantan dan betina). Saluran
pencernaan setelah caecum bercabang dua, di sebelah distal, caecum bersatu
kembali dan buntu. Pada trematoda darah hanya memerlukan satu hospes perantara.
Telur tidak beroperkulum, menetas saat kontak dengan air. Serkaria ekornya
bercabang, masuk ke dalam tubuh hospes definitif dengan cara serkaria menembus
kulit. Perubahan yang terjadi pada hospes perantara miracidium menjadi
sporokista I dan sporokista II akhirnya menjadi serkaria.
Penamaan Schistosoma berasal
dari bentuk cacing jantan dewasanya, yang tampak pada tubuhnya
memiliki saluran genitalia memanjang berlekuk-lekuk, yang merupakan tempat
kontak dengan cacing betina pada saat kopulasi. Schistosoma terdiri atas
tiga spesies pathogen yang terutama menginfeksi manusia yaitu : Schistosoma
japonicum; habitatnya adalah pada vena mesentrika superior, Schistosoma
mansoni; habitatnya adalah pada vena mesentrika interior, Schistosoma
haematobium; habitatnya adalah pada vena mesentrika inferior, terutama pada
vena sebelum vesica urinaria.
Terdapat spesies pathogen lainnya
yang mirip Schistosoma japonicum yaitu Schistosoma. mekongi
yang merupakan cacing dengan penyebaran terbatas pada lembah sungai di
daerah Mekong dan Schistosoma intercalatum dengan telur mirip Schistosoma
haematobium tetapi secara klinis gejalanya seperti S.mansoni,
merupakan cacing endemis di daerah Afrika barat dan Afrika tengah. Siklus hidup
Schistosoma tidak memerlukan hospes perantara kedua untuk penularan
penyakitnya.
Schistosoma
japonicum habitatnya pada vena mesenterica superior.
Schistosoma mansoni habitatnya pada vena mesentrica inferior, sedangkan Schistosoma
haematobium pada vena mesentrica inferior, vena haemorrhoidalis, vena
pudendalis dan sering terdapat pada plexus vena vesicalis.
Secara umum penyakitnya disebut
schistosomiasis (Bilharziasis). Ada dua macam schistosomiasis , yaitu
schistosomiasis intestinalis yang disebabkan oleh Schistosoma mansoni dan
Schistosoma japonicum dan schistosomiasis vesikalis yang
disebabkan oleh Schistosoma haematobium.
Distribusi geografik bagi
schistosomiasis berlainan bagi trematoda darah, antar lain untuk Schistosoma
japonicum di daerah Formosa (hanya enzootic/terbatas pada binatang) daerah
lain di Timur Jauh yang bersifat endemik dan enzootic. Untuk Schistosoma
mansoni di daerah Mesir, Afrika barat, Puertorico, Venezuela dan Brazil.
Sedangkan untuk Schistosoma haematobium di daerah Mesir, Afrika
Barat, Maroko dan Portugal.
Schistosomiasis di Indonesia,
terdapat disekitar danau Lindu, Lembah Napu dan daerah Besoa (propinsi Sulawesi
Tengah) yang merupakan daerah penyebaran endemis di Indonesia. Penyakitnya
Schistosomiasis japonica dengan hospes perantara Oncomelania hupensis
lindoensis yang ditemukan oleh Davis dan Carney, 1973.
Siklus Hidup
Telur yang sudah matang diletakkan
dalam kapiler darah dan vena kecil dekat permukaan mukosa usus dan kandung
kencing (tergantung spesies cacing). Telur dapat menembus keluar dari pembuluh
darah, bermigrasi ke jaringan untuk kemudian sampai pada lumen usus dan kandung
kencing, akhirnya telur akan ditemukan dalam tinja atau urine. Telur segera
menetas dalam air dan keluar miracidium. Didalam tubuh keong, miracidium
berkembang menjadi sporokista I dan sporokista II akhirnya menjadi serkaria.
Serkaria memiliki kemampuan menembus kulit, masuk ke dalam kapiler darah,
akhirnya sampai ke dalam vena kecil usus atau kandung kencing.
Siklus hidup
Schistosoma spp
Telur keluar bersama urne atau
faeces. Pada kondisi optimum ( berada dalam air ) telur menetas menjadi miracidia,
miracidia masuk ke dalam hospes perantara yaitu keong air tawar. Dalam tubuh
keong (moluska) miracidium berkembang dalam dua tahapan menjadi sporokista
sporokista berkembang menjadi serkaria. Ketika serkaria keluar dari tubuh
keong, serkaria infektif berenang bebas dan menginfeksi manusia dengan cara penetrasi
ke dalam melalui kulit, serkaria melepaskan ekornya dan menjadi schistosomulae.
Schistosomulae bermigrasi melewati beberapa jaringan dan menetap pada
habitatnya dalam vena mesentrica atau vena saluran kemih. Cacing dewasa
tinggal pada lokasi vena spesifik yang berbeda sesuai spesies S.
japonicum lebih sering ditemukan pada vena mesentrica superior pada usus halus
dan S. mansoni biasa terjadi ditemukan pada vena mesentrika superior
pada usus besar. S. haematobium biasa ditemukan pada vena flexus
vesicalis, tetapi dapat pula ditemukan pada vena sekitar retum.
a)
Schistosomiasis japonica
Etiologi
Schistosoma japonicum (Katsurada, 1904)
Penyebaran geografi
Cacing terbatas penyebarannya di daerah
Timur Jauh, Jepang, China, Taiwan, Philipina, Thailand. Fokus infeksi ditemukan
oleh Brug dan Tesch (1937) dipertegas oleh Faust dan Boone (1948) di daerah
Palu, Sulawesi Tengah (Indonesia).
Hospes definitif selain manusia juga
anjing, kucing, tikus, sapi, kerbau, babi, kuda, kambing dan biri-biri.
Membutuhkan hospes perantara siput air tawar spesies Oncomelania
nosophora, O.hupensis, O.formosana, O.hupensis linduensis di Danau Lindu
(Sulawesi Tengah) dan O. quadrasi. Siput berukuran kecil, operculate,
amphibi serta dapat bertahan hidup beberapa bulan dalam keadaan relatif kering.
Morfologi
dan siklus hidup
Cacing dewasa, menyerupai S. mansoni dan S.
haematobium akan tetapi tidak memiliki integumentary tuberculation.
Cacing jantan, panjang 12-20 mm, diameter 0,50-0,55 mm. integument ditutupi
duri-duri sangat halus dan lancip, lebih menonjol pada daerah batil isap dan
kanalis ginekoporik, memiliki 6-8 buah testis.
Cacing betina panjang ±26 mm dengan diameter ±0,3 mm.
Ovarium dibelakang pada pertengahan tubuh, kelenjar vitellaria terbatas si
daerah lateral; pada ¼ bagian posterior tubuh. Uterus merupakan saluran
panjang dan lurus berisi 50-100 butir telur.
Telur berhialin, subsperis/oval dilihat dari lateral,
dekat salah satu kutubnya terdapat daerah melekuk tempat tumbuh semacam duri
rudimenter (tombol) . telur berukuran 70-100 x 50-65 µm.
Telur khas diletakkan dipusatkan pada vena kecil
pada submukosa atau mukosa organ yang berdekatan. Tempat telur S. japonicum
biasa pada percabangan vena mesentrica superior yang mengalirkan darah
dari usus halus. Telur keluar menembus submukosa dan mukosa, kemudian
dibebaskan ke dalam lumen usus bersama-sama darah. Tebalnya dinding dan
jaringan parut pada mukosa usus merupakan penghambat bagi telur untuk menembus
jaringan tersebut sehingga ini merupakan saringan dari dinding usus.
Miracidium menyerupai S. mansoni dan S.
haematobium, perbedaannya ukuran yang lebih kecil serta beberapa struktur
kecil internal lainnya. Selanjutnya jika kontak dengan siput yang sesuai, larva
menembus jaringan lunak dalam 5-7 minggu, membentuk generasi pertama dan kedua
sporokista. Pada perkembangan selanjutnya dibentuk serkaria bercabang. Serkaria
ini dikeluarkan jika siput berada pada atau dibawah permukaan air.
Dalam waktu 24 jam, serkaria menembus kulit sebagai
hasil kerja kelenjar penetrasi yang menghasilkan enzim proteolitik, menuju
jalinan kapiler, ke dalam sirkulasi vena menuju jantung kanan dan paru-paru
terbawa ke jantung kiri menuju sirkulasi sistemik. Tidak sepenuhnya rute ini
dilalui oleh schistosomula (muda). Pada migrasi mereka dari paru-paru ke hati.
Mungkin seperti S. mattheei, schistosomula merayap melawan aliran darah
sepanjang dinding arteri pulmonalis, jantung kanan, dan vena cava menuju ke
hati melalui vena hepatica. Infeksi dapat bertahan untuk jangka waktu yang
tidak terbatas, dapat mencapai 47 tahun.
Epidemiologi
Strain bersifat geografikal. Telah diketahui ada dua
strain yaitu strain Thailand-Malaysia dan strain Sulawesi. Perbedaan dari dua
strain tersebut, yaitu hospes siput yang sesuai. Di Indonesia, di pulau
Sulawesi, keadaan endemik tinggi di daerah Danau Lindu. Pada tahun 1971 dari
pemeriksaan tinja terdapat S japonicum 53% dari 126 penduduk pada usia 7
sampai 70 tahun (Pinardi, dkk, 1972) dan dilembah Napu dilaporkan infection
rate 8 dan 12% pada dua desa serta 7% pada Rattus exulans, tikus
liar (Carney,dkk, 1978). Pada tahun 1972, dari hasil survey Departemen
Kesehatan. Sub-Direktorat Schistosomiasis dari beberpa desa di sekitar danau
lindu, Lembah Napu dan daerah Besoa prevalensi S. japonicum antara
1-67%. Setelah melalui program pemberantasan secara terpadu di daerah
Danau Lindu dan Lembah Napu, terlihat sekali penurunan prevalensi di Danau
Lindu menjadi 1,9% dan di Napu menjadi 1,5% (1993).
Patologi dan
klinik
Penyakit oleh spesies ini disebut schistosomiasis
japonica atau dinamakan juga oriental schistosomiasis atau penyakit
Katayama. Organ yang paling serius diserang, saluran pencernaan makanan dan
hati. Jika terjadi infeksi oleh ketiga spesies bersama-sama, parahnya penyakit
tergantung kepada parasit yang utama. Penyakit ini memperlihatkan tiga stadium,
yaitu stadium inkubasi, stadium peletakkan telur dan ekstrusi serta stadium
proliferasi jaringan dan perbaikan.
Selama terjadi migrasi dan pematangan (stadium
inkubasi), lesi yang mungkin timbul terdiri atas:
1)
Dermatitis, pada tempat penetrasi
serkaria, tampak pada 24-36 jam setelah infeksi, tidak diikuti infiltrasi
seluler yang istimewa,
2)
Perubahan pada paru-paru akibat
trauma dan infiltrasi, berupa perdarahan pada paru-paru serta penimbunan lokal
eosinofil, terdapat sel epiteloid dan giant cells sekeliling pembuluh
darah pulmoner pada migrasi larva yang lemah,
3)
Hepatitis akut mengikuti masuknya
larva serta selama pertumbuhannya dalam pembuluh darah portal intrahepatik,
4)
Hiperemi pada dinding usus halus
mengikuti masuk serta pematangan cacing pada vena mesentrica superior,
5)
Trauma dengan perdarahan setelah
telur diletakkan oleh cacing betina, melepaskan diri dari venule kemudian
menembus sub mukosa dan mukosa intestinal masuk ke dalam lumen usus,
6)
Biasanya ditandai dengan meningkatnya
eosinofil dalam perdaran darah sebagai akibat perkembangan proses sensitizing-toxic
patologi akibat absorbsi sistemik dari metabolit cacing.
Sekali peletakkan telur dimulai,
telur akan ditimbun dalam kelompok kecil-kecil, pendek dalam rangkaian seperti
sosis atau berupa gumpalan pada pembuluh venule mesentrica terkecil dalam sub
mukosa. Terjadi penyumbatan aliran darah sehingga telur muncul dari vena
mesentrica. Saat ini terjadi hipermotiliti dari segmen intestinal yang
mengandung parasit dan terjadi rangsangan sekresi lendir oleh larva yang sedang
mengalami pematangan di dalam telur, yang mengakibatkan telur melepaskan diri
dari pembuluh darah masuk ke jaringan perivaskuler disertai pengeluaran darah,
untuk kemudian dilepaskan ke lumen usus dan dikeluarkan bersama tinja.
Sementara itu dengan semakin
banyaknya jumlah telur, mukosa dan submukosa mengalami infiltrasi sel hospes,
infiltrasi eosinofil yang jelas, akan menimbulkan terbentuknya granuloma
makroskopis yang disebut pseudotuberkel. Diameter pseudotuberkel beberapa kali
lipat dari diameter sebuah telur atau gumpalan telur yang terletak di
sentral yang kesemuanya bertanggung jawab terhadap pembentukkan lesi. Sementara
telur diletakkan terus menerus, induk cacing cenderung untuk meninggalkan
tempat lama untuk bermigrasi pada vena mesentrica yang baru pada usus,
sedangkan telur yang berada pada venule yang lebih besar akan menjadi bebas dan
terbawa ke dalam pembuluh porta intrahepatik dan kemudian mereka akan disaring
dan akan ditemukan perivaskular yang akan merangsang pembentukan
pseudotuberkel milier.
Pengobatan
S. japonicum lebih pathogen dan lebih resisten
terhadap pengobatan dibanding S. mansonia dan S. haematobium.
Agar pengobatan schistosomiasis japonica berhasil dengan baik, dianjurkan untuk
memperhatikan beberapa hal:
1.
Penderita diusahakan dalam stadium
awal dari penyakit sebelum menyerang hati dengan kerusakan yang tidak dapat
diperbaiki ataupun menyerang organ-organ vital.
2.
Mencegah terjadinya reinfeksi.
3.
Meningkatkan daya tahan tubuh
misalkan dengan pemberian makanan dengan gizi tinggi.
4.
Dapat diberikan pengobatan dengan
tartar emetik serta pengobatan ulang pada kekambuhan ringan. Karena tartar
emetik bersifat hepatotoksik, selama pengobatan dianjurkan untuk dilakukan tes
fungsi hati. Pemberian tartar emetik (kalium antimonium tartrat) dengan
suntikan intravena serta dalam waktu lama merupakan obat efektif dan obat
pilihan pada pengobatan penyakit ini.
Praziquantel merupakan obat
schistosomiasis yang baru dari komponen pyrazinoquinoline, diberikan per-oral
dalam sehari pemberian, ternyata cukup efekif dengan toleransi yang relatif
baik diberikan per-oral dalam 3 dosis, masing-masing 20 mg/kgBB dengan
waktu antara 4 jam, menghasilkan angka penyembuhan 80%. Efek sampingan terdapat
pada 50-60% penderita yang diberi pengobatan dengan dosis ini, tetapi efeknya
ringan serta sementara, tidak enak perut, sakit kepala, sakit punggung, demam ,
berkeringat dan pening. Kemoterapi lainnya, yaitu oxamniquine dan
metrifonate, memiliki efektifitas tinggi, berturut-turut terhadap
schistosomiasis mansoni dan schistosomiasis haematobia sedangkan untuk
schistosomiasis japonica tidak efektif, sedangkan niridazole dapat mengurangi
jumlah telur tetapi tidak mengurangi infeksi.
Pencegahan
dan kontrol
Kontrol pada schistosomiasis japonica dipersulit
dengan dipergunakannya secara umum tinja manusia untuk pupuk pada daerah
endemik. Dianjurkan tinja terlebih dahulu disimpan dalam waktu lebih lama dalam
penampungan tinja atau dengan penambahan desinfektan dengan garam pupuk seperti
ammonium nitrat yang dapat membunuh telur sebelum disebarkan ke ladang. Petani
dan pekerja di air kanal, di sungai secara prinsip tertulari, akan tetapi dapat
pula manusia pada semua usia terutama anak-anak, tertulari selama mandi atau
menyebrang daerah ini, demikian juga pada orang yang menggunakan air yang telah
terinfeksi untuk mencuci pakaian. Banjir membawa siput yang terinfeksi ke
hilir dengan melewati perkotaan. Faktor lain adalah hospes perantara siput yang
memiliki operculum, bersifat amphibi dan dapat bertahan terhadap pengeringan
selama sebulan atau lebih. Siput yang terinfeksi dapat bertahan hidup beberapa
minggu dalam kekeringan dan jika terkena air kembali, akan menjadi aktif dan
mengeluarkan serkaria yang infektif.
Strategi pemberantasan schistosomiasis di Indonesia (Adyatma,
1980) sebagai berikut:
1.
Meningkatkan pemberantasan penyakit
untuk mencegah kemungkinan penyebaran ke daerah lain.
2.
Metode intervensi , yaitu metode
kombinasi pengobatan penderita, pemberantasan keong, perbaikan sanitasi
lingkungan dan agroengineering (mengeringkan daerah rawa-rawa) yang merupakan
focus keong.
3.
Mengadakan kerjasama lintas sektoral
khususnya untuk agroengineering, kerjasama dengan lembaga-lembaga penelitian
untuk menunjang pemberantasan. Pemberantasan Schistosomiasis di Sulawesi Tengah
telah dilakukan sejak 1988 secara terpadu yang melibatkan semua instansi
terkait yaitu Departemen PU, Pertanian, Kehutanan, Dalam Negeri, Transmigrasi,
Kesehatan Tingkat 1 Sul-Teng serta Tim Penggerak PKK. Hasil yang dicapai dari
pemberantasan secara terpadu ini adalah turunnya prevalensi penderita
Schistosomiasis menjadi 1,5% di dataran tinggi Napu dan 2,5% di Danau Lindu
(1993).
b)
Schistosomiasis mansoni
Etiologi
Schistosoma mansoni
(Sambon,1907)
Epidemiologi
Penyakit oleh S. mansoni
dinamakan schistosomiasis mansoni, Manson’s intestinal schistosomiasis
atau bilharziasis. Infeksi pada manusia hampir semua berasal dari sumber
manusia yang lain, walaupum kera dan baboon pada daerah endemik kadang-kadang
ditemukan terinfeksi. Cacing ini terutama tersebar di Afrika dan Brazil serta
daerah lainya yaitu Mesir, Puerto Rico dan Venezuela.
Habitat dan
hospes
Habitat pada vena mesentrica inferior yang mengalirkan
darah dari usus besar dan segmen posterior ileum. Telur ditimbun pada venule di
submukosa usus, sebagai hospes definitif, disamping pada manusia juga
pada kera dan rodensia. Sedangkan sebagai hospes perantara siput air tawar
genus Biomphalaria, Australorbis, Tropicobis, terutama Biomphalaria
glabrata dan Biomphalaria alexandrina.
Morfologi
Morfologi cacing jantan panjangnya 6,4-12 mm,
tuberkulasi jelas, duri kasar, testis 6-9 buah, pinggir lateral saling mengunci
oleh duri acuminate, pada tempat ini lebih panjang dari tepat lain. Cacing
betina panjangnya 7,2-17 mm, letak ovarium di anterior pertengahan tubuh,
kelenjar vitellaria memenuhi pinggiran lateral dan pertengahan tubuh, uterus
pendek diisi beberapa butir telur (1-4 butir).
Telur : Berukuran 114-175 x 45-68 µm, berwarna
coklat kekuningan, transparan, dekat salah satu kutubnya terdapat duri lateral
yang spesifik. Telur menghasilkan enzim untuk memudahkan keluar melewati
jaringan masuk ke dalam lumen usus. Telur sudah matang, akan segera pecah
setelah kontak dengan air karena sifatnya yang menyerap air.
Siklus hidup
Siklus hidup S mansoni, pada kondisi yang
menguntungkan, waktu minimum yang dibutuhkan ± 4 minggu. Serkaria memiliki
beberapa pasang kelenjar penetrasi pada bagian kepalanya, menembus kulit hospes
pada lipatan, lubang rambut atau dibawah selaput tanduk. Perjalanan selanjutnya
sama dengan S. japonicum.
Gejala
klinik
Granuloma oleh S. japonicum lebih besar, lebih
eksudatif, lebih destruktif serta meninggalkan sisa jaringan parut yang lebih
besar. Organ yang lebih serius diserang kolon dan rectum, akan tetapi pada hati
juga akan terjadi proses patologis terutama fibriosis hati. Sama seperti S.
japonicum, S.mansoni juga menunjukkan tiga stadium :
1)
Periode inkubasi
2)
Periode deposisi dan ekstrusi telur
3)
Periode proliferasi jaringan dan
perbaikan.
Ekstrusi telur yang pertama terjadi
pada 5-7 minggu setelah infeksi, diikuti disentri schistosomiasis yang klasik
dengan lendir dan darah pada tinjanya. Hati dan limpa juga sangat membesar
dengan perabaan lunak, mula-mula disebabkan oleh infiltrasi telur. Telur
mungkin masuk ke jaringan paru-paru, pankreas, limpa, ginjal, adrenal,
miokardium atau kadang-kadang sumsum tulang belakang dan memulai proses
patologi dari organ-organ ini dengan gejala-gejala yang sesuai. Pada
sekitar 0,1% penderita, telur dengan duri lateral sampai pada vesica urinaria
yang akan dikeluarkan bersama urine. Komplikasi pulmoner pada
schistosomiasis mansoni termasuk tipe bronchopulmoner menyerupai TBC
lanjut, dengan enarteritis pembuluh darah pulmoner serta bentuk
cardiopulmoner yang berakhir dengan lemah jantung kongestif.
Diagnosis
Selama fase prodromal sampai akhir periode prepaten,
diagnosis dapat dilakukan dengan tes serologis. Segera setelah ekstrusi telur
dimulai, diagnosis dengan menemukan telur dalam tinja dengan metode konsentrasi
jika telur tidak ditemukan pada sediaan langsung atau pada “Kato thick
fecal film”. Dilakukan dengan sedimentasi pada 0,5% gliserin dalam
air atau dengan metode konsentrasi lain. Penderita dengan disertai komplikasi
pulmoner yang disebabkan oleh schistosomiasis, maka diagnosis didasarkan pada
gambaran klinis, visualisasi dari lesi pada sinar rontgen dan pada waktunya
menemukan telur dalam sputum. Jika telur pada pemeriksaan tidak dapat
ditemukan, dilakukan pemeriksaan serologis. Untuk survey di masyarakat, dapat
digunakan metode Kato dengan hasil yang cukup baik.
Pengobatan
Tartar emetik seperti pada S japonicum cukup efektif,
hanya sulit dalam pemberian dan toleransinya rendah sehingga bukan merupakan
obat pilihan. Obat-obat lainnya yaitu Stibofen (Fuadin), pemberian
intramuscular dalam larutan 6,3% 40-75 ml yang diberikan dalam 10-16 kali
pemberian. Niridazole (CIBA 32.644 Ba atau Ambilhar) efektif mengobati
Schistosomiasis mansoni dengan dosis perhari 25 mg/kg BB, diberikan dalam waktu
5-10 hari. Obat lainnya yang cukup baik adalah nitroquinoline, Oxamniquine,yang
diberikan per-oral. Dosis optimim belum dapat ditentukan, disarankan dosis 15
mg/kgBB dalam dosis tunggal. Niridazole lebih efektif pada anak-anak daripada
Oxamniquine yang efektif pada orang dewasa. Pengobatan dengan
Praziquantel aman dan efektif pada dosis tunggal 40 mg/kgBB. Oltripaz merupakan
obat baru yang dilaporkan juga efektif untuk Schistosomiasis mansoni.
Pencegahan
Pencegahan sama dengan S japonicum, pada
prinsipnya penggunaan Moluscisida pada beberapa keadaan dapat efektif
mengurangi atau secara lengkap memutuskan transmisi parasit, akan tetapi
membutuhkan waktu lama. Program kesehatan masyarakat dengan menyediakan tempat
mandi umum, mencuci pakaian serta system pembuangan yang sehat memberikan
pencegahan yang baik terhadap penyakit ini.
c)
Schistosomiasis haematobium
Etiologi
Schistosoma haematobium (Bilharz,
1852 dan Weiland, 1858)
Epidemiologi
Merupakan trematoda darah yang dapat
menyebabkan Schistosomiasis vesikalis (penyakit parasit pada organ genitourinari),
schistosomiasis haematobia, vesical atau urinary bilharziasis, Schistosomal
hematuria. Schistosomiasis haematobium sering terjadi di hulu sngai
Nil. Sebagian besar Afrika termasuk kepulauan di Pantai Timur Afrika,
ujung Selatan Eropa, Asia barat dan India.
Habitat dan hospes
S. haematobium dewasa
hidupnya terutama di flexus vena vesikalis dan pelvic, mungkin pada
aliran darah porta, vena mesentrica inferior, vena pudendalis, vena
haemorroidalis, jarang pada venula lainnya. Hospes definitif selain manusia
juga kera (Cercocebus torquatus atys), baboon (Papio doguera dan Papio
rhodesiae), Chimpanzee (Pan satirus). Hospes perantara siput air
dari genus Bulinus dan Planorbarius.
Morfologi dan siklus hidup
Cacing jantan gemuk, berukuran 10-15
x 0,8-1 mm, ditutupi integument tuberkulasi kecil, memiliki dua batil isap
berotot, yang ventral lebih besar. Di belakang batil isap ventral, melipat ke
arah ventral sampai ekstremitas kaudal, membentuk kanalis ginekoporik. Persis
di balakang batil isap ventral terdapat 4-5 buah testis besar. Porus genitalis
tepat dibawah batil isap ventral.
Cacing betina panjang silindris,
ukuran 20 x 0,25 mm, batil isap kecil, ovarium terletak posterior dari
permukaan tubuh. Uterus panjang sekitar 20-30 telur berkembang pada satu
saat dalam uterus. Oviposisi biasa terjadi dalam venule kecil pada vesica
urinaria dan pelvicus seperti venule rectalis. Tempat-tempat ektopik ditemukan
pada kelenjar prostat dan jaringan subkutan lipat paha dan scrotum, jaringan
kulit sekitar umbilicus, conjunctiva dan kelenjar lakrimalis. Telur dapat
menembus dinding pembuluh darah menembus mukosa sampai ke lumen bersama darah
yang keluar dari luka, keluar bersama urine terutama pada akhir miksi atau pada
tinja disentri.
Morfologi
telur Schistosoma haematobium
Berwarna coklat kekuningan, memiliki
duri terminal, transparan, berukuran 112-170 x 40-70 µm. pada siput yang sesuai
dalam 4-8 minggu terbentuk sporokista generasi pertama dan kedua,
akhirnya akan menjadi serkaria yang setiap hari akan lolos dari tubuh siput
secara berkelompok selama beberapa minggu atau bulan, setelah meninggalkan
siput serkaria berenang aktif mencari hospes. Serkaria kontak dengan kulit, air
menguap, menembus kulit, ekornya dilepaskan.
Keadaan hidup bebas ini tidak lebih
dari 3 hari (biasanya 24 jam atau kurang), selama dapat bertahan tidak
makan. Kemudian menembus ke bawah permukaan epidermis dengan lincah dalam waktu
kurang dari 30 menit. Biasanya dalam 1-2 hari, larva telah sampai venule
perifer, terbawa ke jantung kanan, masuk ke dalam pembuluh darah pulmoner.
Menjelang dewasa memerlukan waktu 20 hari sejak penetrasi ke dalam kulit.
Mereka masuk ke dalam vena mesentrica inferior, tinggal dan matang dalam vena
rektalis, akan tetapi biasanya bermigrasi melalui vena haemorroidalis dan
vena pudendalis menuju vena vesicalis dan plexus pelvicus, mereka sampai dalam
waktu 3 bulan setelah menembus kulit. Periode prepaten biasanya memerlukan
waktu 10-12 minggu.
Gejala klinik
Setelah kontak dengan kulit manusia,
serkaria masuk ke dalam pembuluh darah kulit. Lebih kurang 5 hari setelah
infeksi, cacing muda mulai menjangkau vena porta dan hati. Kira-kira tiga
minggu setelah infeksi, pematangan cacing dimulai sejak keluar dari vena porta.
Setelah 10-12 minggu cacing betina mulai meletakkan telur pada venule.
Pada schistosomiasis vesicalis,
primer kerusakan jaringan pada dinding vesica urinaria, sekunder pada bagian
distal ureter, organ urinarius dan genital yang berdekatan atau rectum dan
akhirnya pada paru-paru dan organ yang lebih jauh. Bila jumlah telur lebih
banyak maka akan diinfiltrasi dan ditahan dalam jaringan, menjadi pusat
pembentukkan pseudoabses. Abses dekat lumen vesica urinaria atau organ lain,
mungkin pecah dan mengeluarkan telurnya , berlanjut dengan pembentukkan
jaringan fibrosis berakhir dengan pembentukkan pseudotuberkel yang akhirnya
akan terjadi fibrosis seluruh organ.
Efek S.haematobium terdiri
atas:
1.
Reaksi lokal dan umum terhadap
metabolit cacing yang sedang tumbuh dan matang,
2.
Trauma dengan perdarahan akibat
telur keluar dari venule,
3.
Pembentukkan pseudoabses dan
psudotuberkel mengelilingi telur terbatas pada jaringan perivaskular
4.
Obstruktif uropati. Aspek klinik
infeksi terbagi menjadi tiga periode : masa inkubasi, deposisi dan
ekstruksi telur, proliferasi jaringan dan perbaikan.
Deposisi dan ekstrusi telur, inflamasi
dan pembentukkan pseudotuberkel pada sekeliling telur diikuti:
(1)
Hyperplasia dan fibrosis umum
dinding vesica dan ureter bagian bawah
(2)
Infeksi sekunder. Gejalanya berupa
sistitis kronis. Pemeriksaan sitoskopis menjadi lebih sulit. Lesi yang terjadi
pada laki-laki dapat sampai penis dan elephantiasis organ akibat penyumbatan
limphaticus scrotalis. Lesi pada wanita biasanya kurang berat meskipun cervix,
vagina dan vulva mungkin dikenai.
Diagnosis
Diagnosis
spesifik hanya dapat dibuat :
1.
Setelah telur dilepaskan ke dalam
lumen vesica urinaria dan muncul dalam urine.
2.
Setelah telur dilepaskan ke dalam
lumen usus dan ditemukan bersama tinja.
3.
Dari bahan aspirasi atau biopsi yang
diperoleh melalui cytoscope atau proctoscope dan diperiksa secara mikroskopik
terhadap adanya telur. Immunodiagnosis umumnya hanya merupakan group
specific sering dilakukan pada kasus dengan gejala-gejala selama prepaten
yang terlambat.
Telur S. haematobium biasanya terdapat dalam
urine, meskipun pada infeksi berat dapat ditemukan pada faeces. Bahan
pemeriksaan urine hematuri dapat terdiri dari banyak telur terperangkap dalam
lendir dan nanah. Puncak eksresi telur terjadi antara siang dan jam tiga sore.
Specimen yang dikumpulkan pada waktu tersebut atau urine 24 jam tanpa
pengawet,dapat digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis setelah disentrifuge
atau sedimentasi. Yang harus diperhatikan dalam diagnosis Schistosoma
haematobium : Telur tidak terdapat dalam urine sampai cacing dewasa (
memerlukan waktu 5 sampai 13 minggu setelah awal infeksi).
Pada infeksi ringan atau kronis telur akan sulit
didapat dalam urine, sehingga dibutuhkan pemeriksaan berulang-ulang atau
pemeriksaan serologis akan sangat membantu. Kadangkala terdapat juga dalam
faeces sehingga perlu dilakukan pemeriksaan urine dan faeces. Teknik membrane
filtrasi menggunakan saringan nukleopore akan sangat membantu dalam penegakkan
diagnosa. Pasien yang telah menjalani pengobatan harus di follow-up dan
pemeriksaan terus dilakukan sampai 1 tahun untuk mengevaluasi pengobatan. Pada
infeksi aktif, telur dapat mengandung miracidia.
Pengobatan
Obat merrifonate (Bilarcil), organoposfor
cholinesterase inhibitor, tidak efektif terhadap S japonicum dan S
mansoni tetapi unggul dalam pengobatan terhadap Schistosomiasis vesikalis
karena murah, manjur dan mudah diterima oleh penderita. Dengan dosis 5-15
mg/kgBB diberikan dengan interval 2 minggu untuk 3 dosis membutuhkan waktu 4 minggu.
Oxamniquine tidak efektif untuk schistosomiasis vesikalis.
Pencegahan
Mengurangi sumber infeksi dari cacing ini
dilakukan dengan pengobatan penderita, terutama pengobatan massal di daerah
endemik. Dapat dilakukan pencegahan dengan tiga program, yaitu:
1. Eradikasi
tuan rumah molusca, paling sedikit untuk satu siklus transmisi, dengan
penanganan air dan kampanye moluscasida pada daerah endemic.
2.
Perbaikan sanitasi lingkungan untuk
mengurangi kepadatan habitat siput dimana telur schistosoma
dikeluarkan pada urine dan faeces manusia yang merupakan sumber infeksi untuk
siput.
3. Pengobatan
secara efektif pada penderita terutama carrier untuk mengurangi kontaminasi
pada air.
0 komentar:
Posting Komentar